cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences
Published by Universitas Diponegoro
ISSN : 08537291     EISSN : 24067598     DOI : -
Core Subject : Science,
ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences (IJMS) is dedicated to published highest quality of research papers and review on all aspects of marine biology, marine conservation, marine culture, marine geology and oceanography.
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 18, No 4 (2013): Ilmu Kelautan" : 7 Documents clear
Laju Pertumbuhan dan Kelulushidupan Transplan Spons Amphimedon sp. (Growth and Survival of Sponge Amphimedon sp. Transplants) Agus Trianto; Radisya N Nissa; Diah Permata Wijayanti; Azis Rifai; Dwi Haryo Ismunarti; Destio .
ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences Vol 18, No 4 (2013): Ilmu Kelautan
Publisher : Marine Science Department Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (199.274 KB) | DOI: 10.14710/ik.ijms.18.4.225-230

Abstract

Spons adalah salah satu sumber bahan hayati laut yang potensial. spons Amphimedon sp. terbukti memiliki potensi sebagai senyawa bioaktif anti kanker. Namun, pemanfaatan spons dari alam akan memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan, khususnya populasi organisme tersebut. Melalui budidaya spons dapat diaplikasikan untuk menyediakan bahan bioaktif dalam jumlah yang cukup secara berkesinambungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan dan tingkat kelulushidupan spons Amphimedon sp. yang dibudidayakan melalui transplantasi secara in situ di perairan Pulau Panjang, Jepara, Jawa Tengah. Spons ditransplantasikan pada perairan laut dengan jarak 6 m dan 1 m dari dasar, dengan 2 ukuran awal eksplan (3cm x 3cm x 1,5cm dan 6cm x 6cm x 1,5cm). Laju pertumbuhan dihitung berdasarkan pertambahan volume eksplan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran awal eksplan memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan. Sebaliknya, perbedaan kedalaman tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan spons. Laju pertumbuhan eksplan spons Amphimedon sp berkisar 3,01±1,60 cm3.hari-1 sampai dengan 3,43±1,08 cm3.hari-1. Kelulushidupan eksplan spons mencapai 100%. Hasil ini menegaskan bahwa untuk usaha budidaya spons sebaiknya menggunakan ukuran awal eksplan besar. Disamping itu perairan Pulau Panjang terbukti memiliki perairan yang sesuai untuk budidaya spons. Kata kunci: akuakultur, eksplan, spons, bahan bioaktif  Sponge is known as important marine natural product sources. Sponge Amphimedon sp. has been proven to have anticancer substances. However, direct exploitation of sponge from nature will give a bad impact to the marine environment. Sponge aquaculture can be applied for sufficiently and sustainably supply of bioactive compounds. In order to obtain data on growth and survival rates of transplanted sponge Amphimedon sp. in Panjang Island-Jepara waters, this in situ research was conducted. The sponges were explanted  at 6 m and 1 m above the sea floor with two initial approximate size (3cm x 3cm x 1.5cm and 6cm x 6cm x 1.5cm). The growth rate was indicated by volumetric increment. The results showed that initial explants size gave a significant effect on the growth rates of the sponge. On the other hand, two different depths of culture did not give significant effect. The explant growth rates range from 3.01±1.60 cm3.day-1 to  3.43±1.08 cm3.day-1. Survival rate of the sponge during the experiment was 100%. This result confirms that for the cultivation of sponges should use larger explants initial size. It also suggests that Panjang Island water has proven suitable for sponges cultivation activities. Keywords: aquaculture, explant, sponges, bioactive substance
Amino Acid Absorption by Tiger Grouper Fish (Epinephelus fuscoguttatus) Larvae. (Absorbsi Asam Amino oleh Larva Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)) Ambariyanto Ambariyanto; Ali Djunaedi; Nur Taufiq S.P.J.; Pribadi Rudhi; Pringgenies Delianis
ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences Vol 18, No 4 (2013): Ilmu Kelautan
Publisher : Marine Science Department Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (229.314 KB) | DOI: 10.14710/ik.ijms.18.4.186-192

Abstract

Ikan Kerapu merupakan salah satu ikan unggulan yang ditargetkan sebagai komoditi eksport Indonesia. Usaha budidayanya saat ini sangat terganggu dengan tingginya mortalitas pada stadia larva. Usaha untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan obat seperti antibiotik yang ternyata tidak membuahkan hasil maksimal tetapi justru menimbulkan resistensi beberapa jenis bakteria. Salah satu aspek yang belum pernah dilihat dalam rangka mengatasi masalah ini adalah dengan mengusahakan percepatan pertumbuhan pada stadia larva sehingga akan lebih mampu menghindari dari beberapa penyebab mortalitas. Salah satu sumber energi yang terdapat dalam perairan namun dalam jumlah yang tidak besar adalah dissolved organic matter (DOM). Penelitian ini ditekankan untuk melihat kemampuan larva ikan Kerapu dalam memanfaatkan DOM (digunakan asam amino terlarut ;ATT) yang terdapat di air laut. Sebanyak 16 (enam belas) jenis asam amino yang terdiri dari tiga klas yakni neutral, basic, dan acidic digunakan dalam penelitian ini. Sedangkan larva ikan Kerapu yang digunakan berumur 2 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva ikan Kerapu menyerap seluruh jenis asam amino baik neutral, basic, dan acidic. Namun jenis asam amino yang diserap adalah glutamat, histidin, lisin, serin, metionin, tritopan dan iso leusin. Sedangkan yang paling banyak diserap oleh larva ikan ini adalah lisin. Hal yang menarik dalam penelitian ini adalah terdapat beberapa jenis asam amino yang diduga justru dikeluarkan oleh larva ikan tersebut yakni glysin, alanin, tyrosin, valin, phenil alanin dan leusin. Penyerapan beberapa jenis asam amino ini diduga dimanfaatkan oleh larva ikan Kerapu dalam proses pertumbuhannya. Kata kunci : asam amino terlarut, larva, Kerapu Macan, Epinephelus fuscoguttatus   Kerapu (grouper fish) is known as an important and highly economic value fish and a good candidate for major export commodity for Indonesia. However, there is an important problem faced by its cultivation i.e. high mortality rate at larva stage. Many different efforts have been done to overcome this problem mainly by using drugs and antibiotics, which have caused another problem i.e. bacteria resitance. One aspect that has not been widely investigated is by increasing its growth rate so that the larvae will have the ability to avoid mortality, such as by utilising dissolved organic matter (DOM) which naturally occur in the environment. This research investigates the question whether Kerapu fish larvae have the ability to absorb DOM (in this case disolved free amino acids; DAA) as well as the preference and the rate of absorbsion. There were 16 species of DAA used in this experiment which consist of three classes i.e. neutral, basic, and acidic. Two days old larvae were used in the experimant. The results showed that Kerapu larvae absorbed all classes of amino acids, although not all amino acids given being absorbed but only glutamine, histidine, lysin, serine, triptophan, metionine and iso leusine. While the most absorbed amino acids was lysine. One interesting results showed that the larvae secrete several amino acids i.e. glysine, alanine, tyrosine, valine, phenil alanine and leusine. The absorbsion and secretion of amino acids were possibly related to its metabolic processes within the larvae in relation to growth processes. Keywords: dissolved free amino acids, DAA, larvae, Kerapu, Epinephelus fuscoguttatus
Cluster Management to Prevent Transmision of White Spot Syndrome Virus in Extensive Giant Tiger Shrimp Farming (Manajemen Klaster Tambak Udang Windu Untuk Mencegah Penularan Virus White Spot Syndrome) Arief Taslihan; Bambang Sumiarto; Kamiso H Nitimulyo
ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences Vol 18, No 4 (2013): Ilmu Kelautan
Publisher : Marine Science Department Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (289.418 KB) | DOI: 10.14710/ik.ijms.18.4.231-238

Abstract

Telah dilakukan kajian terhadap efektifitas managemen model klaster dengan tambak non-udang sebagai tambak penyanggah untuk mencegah transmisi penyakit bercak putih viral (WSSV) pada budidaya udang windu skala tradisional. Kajian dilakukan di tambak udang tradisional di wilayah kabupaten Demak, provinsi Jawa Tengah. Penelitian dilakukan pada lima petak tambak perlakuan dan tujuh petak tambak sebagai kontrol. Tambak udang pada kelompok perlakuan menerapkan sistem klaster, yaitu tambak dikelilingi dengan petak berisi ikan sebagai komponen biosekuriti untuk mencegah penularan WSSV dari tambak sekitarnya. Tambak kontrol tidak menggunakan petak non-udang sebagai komponen biosekuriti, dan dikelola dengan teknologi yang biasa dilakukan oleh pembudidaya setempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tambak yang dikelilingi dengan tambak non-udang dapat dipanen dalam waktu pemeliharaan 105,6±4,5 hari lebih lama secara nyata dibanding tambak kontrol yang dipanen pada hari ke 60,9±16,0 karena wabah penyakit, sintasan (survival rate) yang diperoleh adalah 77,6±3,6 %, lebih besar secara nyata dibandingkan kontrol yang hanya 22,6±15,8 %, serta produksi udang 425,1±146,6 kg.ha-1 jauh lebih tinggi dibandingkan kontrol yang hanya 54,5±47,6 kg.ha-1. Pada kajian tersebut tambak non-udang ditebari dengan tilapia dan kakap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui penerapan Better Management Practices (BMP) dengan cara tambak udang dalam model klaster yang dikelilingi dengan tambak non-udang terbukti efektif mencegah penularan WSSV dari tambak tradisional sekitarnya. Kata kunci: budidaya udang tradisional, windu, biosekuriti, manajemen klaster  White spot syndrome virus (WSSV) has become epidemic in Indonesia and affecting shrimp production lost in shrimp farm. Virus has transmitted from one to other ponds, mostly by crustacean, but more often transmit through water from affected pond. A cluster model, consist of two and three ponds surrounded by non-shrimp growing pond as biosecurity has developed. The model aim to prevent white spot virus transmission in giant shrimp extensive pond. The study was conducted in two sites at Demak district, Central Java province. Cluster consist of three shrimp ponds in site I, and cluster consist of two shrimp ponds, each surrounded by non-shrimp growing ponds. As control we also compare to 5 extensive shrimp ponds in site I and other three shrimp grow out ponds in site II, with neither no cluster system nor surrounded by non-shrimp pond as biosecurity. Result of the study shown that cluster of shrimp ponds surrounded  by non-shrimp pond harvested at DOC 105,6±4,5 days significantly longer than that of control that harvested at 60,9±16,0 days because of outbreak, survival rate at 77,6±3,6 %, significantly higher than that of control at 22,6±15,8 % and shrimp production of 425,1±146,6 kg.ha-1 significantly higher than that of control at 54,5±47,6 kg.ha-1. These results suggest that implementation of Better Management Practices (BMP) by arranging shrimp ponds in cluster and surrounding by non-shrimp ponds proven effectively prevent WSSV transmission from traditional shrimp ponds in surrounding area. Keywords: extensive shrimp pond, giant tiger prawn, biosecurity, cluster management
Kelimpahan dan Keanekaragaman Plankton di Perairan Selat Bali (Plankton Abundance and Diversity in the Bali Strait) Ruly Isfatul Khasanah; Aida Sartimbul; Endang Yuli Herawati
ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences Vol 18, No 4 (2013): Ilmu Kelautan
Publisher : Marine Science Department Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (493.832 KB) | DOI: 10.14710/ik.ijms.18.4.193-202

Abstract

Fitoplankton mempunyai peran sangat penting dalam suatu perairan, selain berada pada dasar rantai makanan sedangkan zooplankton merupakan herbivor pemangsanya. Penelitian mengenai kelimpahan dan keanekaragaman plankton di perairan Selat Bali dilakukan pada musim peralihan II (Nopember 2012) dan musim barat (Pebruari 2013). Penelitian bertujuan untuk mengamati perbedaan kelimpahan dan keanekaragaman plankton pada dua musim angin muson. Sampel air diambil dengan menggunakan water sampler sedangkan sampel plankton diambil secara horisontal dan vertikal  pada kedalaman 1 m dan 20 m dengan jaring plankton Kitahara bermata jaring 20 µm. Hasil pengukuran nutrien pada musim peralihan II memiliki kadar fosfat, nitrat, bahan organik, silikat dan klorofil-a lebih tinggi dibandingkan pada musim barat. Informasi tersebut memperkuat indikasi adanya perpindahan massa air dari lapisan yang lebih dalam ke lapisan yang lebih dangkal. Nutrien fosfat dan nitrat diperlukan untuk mempertahankan fungsi membran sel dan silikia dibutuhkan untuk pembentukan dinding sel terutama pada diatom. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kelas diatom (Bacillariophyceae) mencapai 95,9 % dari total jenis dan kelimpahan fitoplankton seluruh stasiun penelitian, sisanya berasal dari genus Dinophyceae. Kelimpahan fitoplankton tertinggi terjadi pada musim peralihan II dengan Rhizosolenia stolterfothii sebesar 51.405 sel.L-1 (80,1%), sedangkan pada musim barat copepoda ditemukan melimpah sebesar 8.178 ind.L-1 (88,3 %). Hasil ini mengindikasikan bahwa dengan kelimpahan plankton yang ditemukan perairan Selat Bali dinilai cukup potensial untuk mendukung kehidupan biota laut pelagis. Kata kunci: plankton, selat Bali, rhizosolenia stolterfothii, muson  Abstract Phytoplankton has important role as primary producer in the sea and act as base of food chain while zooplankton act as herbivore prey on them. Research on abundance and diversity of plankton at Bali Strait was performed during transitional season in November 2012 and the west season in February 2013. This research was done to observe the differences in the abundance and diversity of plankton in the two monsoon seasons. Water sample and plankton sample were collected simultaneously at the same location. Water samples were taken using a water sampler, while plankton were taken by using a planktonnet with mesh size 20 μm. Samples were taken vertically and horizontally at a depth of 1 m and 20 m below the surface. The result of nutrient measurement at Bali Strait during transitional II season showed that the concentration of phosphate, nitrate, organic matter, sillica and chlorofill-a are higher than during west season. This result indicates that there is probably movement of water mass from deeper water column to shallower area. Phosphate and nitrate are required by phytoplankton to maintain their cell membrane and sillica are used to form cell wall, especially for diatom. The reasearch also revealed that diatom (Bacillariophyceae) are 95,9 % of total species and abundance of phytoplankton, and the rest are Dinophyceae. It was found that highest abundance occur during transitional season was Rhizosolenia stolterfothii of 51.405 sel.L-1 (80,1 %). While during the west monsoon the Copepod had dominates at 8.178 cell.L-1 (88,3 %). These results indicate that with plankton abundance the Bali Strait has the potential to support pelagic marine life. Keywords: plankton, Bali strait, rhizosolenia stolterfothii, monsoon
Rancang Bangun Instrumen Sistem Buoy Menggunakan A-Wsn Protokol Zigbee Untuk Pengamatan Ekosistem Pesisir (Development of Buoy System Instrument using A-WSN ZigBee Protocol for Coastal Ecosystem Monitoring) Acta Withamana; Indra Jaya; Totok Hestirianoto
ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences Vol 18, No 4 (2013): Ilmu Kelautan
Publisher : Marine Science Department Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (412.657 KB) | DOI: 10.14710/ik.ijms.18.4.179-185

Abstract

Luasnya perairan dan lingkungan laut yang tidak bersahabat menimbulkan tantangan tersendiri untuk diobservasi. Aktivitas observasi secara konvensional di laut, yang menggunakan kapal sebagai wahana bergerak, membutuhkan biaya yang tinggi dan tidak efisien untuk memperoleh resolusi spasial dan temporal yang diinginkan. Buoy tertambat telah lama digunakan sebagai salah satu pilihan untuk aktivitas observasi laut. Namun ukuran yang besar dari rancangan buoy yang ada pada umumnya tidak cocok untuk pengamatan ekosistem pesisir. Perkembangan teknologi semikonduktor yang pesat melahirkan konsep wireless sensor network (WSN). Komunikasi protokol ZigBee memiliki kelebihan penggunaan energi yang efisien dan kemudahan pemasangan. Riset ini dilakukan untuk mengembangkan instrumen buoy tertambat dan menguji apakah WSN dapat diaplikasikan di wilayah pesisir. Buoy tertambat yang dikembangkan memiliki kinerja yang baik dan stabil sebagai wahana instrumen. Kinerja jaringan ZigBee menunjukan tingkat keberhasilan pengiriman data sebesar 100% pada uji coba statis. Menggunakan empat buah baterai NiMH, instrumen ini dapat bekerja selama kurang lebih 39 jam untuk coordinator dan router, serta 89 jam untuk end device. Pengujian di lapangan menunjukan hasil terburuk sebesar 84.94% keberhasilan pengiriman data pada E1, dan hasil terbaik sebesar 100% keberhasilan pengiriman data pada R1 dan E3. Data suhu permukaan laut yang diterima juga dapat menggambarkan sebaran suhu permukaan di Pulau Panggang. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa Instrumen Sistem Buoy Menggunakan A-Wsn Protokol Zigbee sangat berpotensi untuk digunakan dalam pengamatan ekosistem pesisir. Kata kunci: instrumen, buoy tertambat, ZigBee, suhu permukaan laut, observasi pesisir  Ocean observation has become a challenge due to its vast and rough condition. The conventional observation, for example using ship as a mobile platform, is very expensive and inefficient to obtain desired spatial and temporal resolution of sampling. Mooring buoy has been used as one of the options to carry out the task. However the big dimension in the existing buoy system is not suitable for coastal ecosystem monitoring. Rapid development in semiconductor technology has brought wireless sensor network (WSN). ZigBee communication protocol has the advantage of energy efficient and ease of implementation. This research was conducted to developing mooring buoy platform as well as analyzes the possibility of WSN to be implemented in coastal environment. The test on performance of developed mooring buoy was good and stable as the platform of instrument. The network performance of ZigBee radio gave 100% data transmitting and receiving success ratio in the static test. Using four Ni-MH batteries, the instrument can be operated for roughly 39 hours for coordinator and router, and 89 hours for end device. The sea field test shows that the worst is 84.94% success ratio on E1 and the greatest is 100% success ratio on R1 and E3. The received temperature data also accurate to describe the distribution of sea surface temperature at Panggang Island. Results of this study suggest that application of Buoy System instrument using  ZigBee-WSN protocol has the potential to be used in the observation activities of coastal ecosystems. Keywords: mooring buoy, instrument, WSN, ZigBee, coastal observation
Fitoremidiasi Logam Berat dengan Menggunakan Mangrove (Phytoremiditation of Heavy Metals Using Mangroves) Faisal Hamzah; Yuli Pancawati
ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences Vol 18, No 4 (2013): Ilmu Kelautan
Publisher : Marine Science Department Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (674.568 KB) | DOI: 10.14710/ik.ijms.18.4.203-212

Abstract

Mangrove mampu mengakumulasi dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap logam berat sehingga bisa dijadikan tumbuhan untuk tujuan fitoremidiasi (fitostabilisasi). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi fitoremidiasi berdasarkan akumulasi dan translokasi logam berat pada mangrove di daerah pesisir. Sebanyak 10 pohon mangrove (4 spesies) pada 4 stasiun di HLAK dan SMMA diambil untuk dianalisa. Logam berat yang dianalisa dibagi menjadi dua yaitu esensial (Cu dan Zn) dan non esensial (Pb). Hasil analisa fisikokimia perairan dan sedimen menunjukan bahwa mangrove tumbuh pada kondisi normal untuk daerah estuari (pH 7,10-7,46; suhu 28,5-30 0C; salinitas 2-6 ‰; oksigen terlarut 0,71-1,42 mg.L-1 dan kelembaban sedimen 10-30 %). Konsentrasi Zn pada sedimen lebih tinggi dibandingkan Cu dan Pb, namun pada akar dan daun, konsentrasi Pb lebih tinggi dibandingkan Zn dan Cu. Nilai biological accumulation coefficient (BAC=ratio kandungan logam pada daun dengan sedimen), biological transfer coefficient (BTC=ratio kandungan logam pada daun dengan akar) dan bioconcentration factor (BCF=ratio kandungan logam pada akar dengan sedimen) logam non esensial lebih tinggi dibandingkan logam esensial. BAC, BTC, dan BCF Pb adalah 0,84-1,10, 0,84-1,15 dan 0,91-1,09. Nilai BAC, BTC, dan BCF logam Cu dan Zn berturut adalah 0,02-0,13 & 0,12-0,25, 0,17-082 & 0,56-1,11 dan 0,09-0,17 & 0,13-0,25. Untuk tujuan fitoremidiasi, mangrove bisa diterapkan di daerah pesisir sebagai fitostabilisasi. Hasil perhitungan FTD menunjukan spesies Sonneratia caseolaris 3 bisa dijadikan sebagai kriteria mangrove untuk fitoremediasi. Kata kunci: mangrove, fitoremidiasi, logam berat, pesisir Abstract Mangroves are able to accumulate and have a high tolerance to heavy metals so that those trees can be used as phytoremidiation purpose (phytostabilization). This study was conducted to determine metal phytoremidiation potential of mangroves based on accumulation and translocation of heavy metals in coastal areas. A total of 10 of mangrove trees (4 species) at 4 stasions in HLAK and SMMA were taken and analyzed. Heavy metal divided into two such as essential (Cu and Zn) and non essential (Pb). Based on phycochemical analysis both of water and sediment,our result showed that mangroves grow on normal condition for estuarine ecosystem (pH 7.10-7.46; temperature 28.5-30 0C; salinity 2-6‰; dissolved oxygen 0.71-1.42 mg.L-1 dan humidity of sediment 10-30%). Concentration of Zn  in sediment was higher than Cu and Pb, but in roots and leaves Pb was higher than Zn and Cu. Biological accumulation coefficient (BAC=ratio of leaf metal to sediment metal concentration), biological transfer coefficient (BTC= ratio of leaf metal to root concentration) and bioconcentration factor (BCF= ratio of root metal to sediment metal concentration) for non essential is higher than essential. BAC, BTC and  BCF Pb metal were 0.84-1.10, 0.84-1.15 and 0.91-1.09, respectively. While value of  BAC, BTC  and BCF  for Cu and Zn were adalah 0.02-0.13 & 0.12-0.25, 0.17-082 & 0.56-1.11 and 0.09-0.17 & 0.13-0.25, respectively. For phytoremidiation purposes, mangroves are perhaps best employed as phytostabilisers. Result of calculating FTD showed that species of Sonneratia caseolaris 3 can be used  as mangrove criterion for those purpose. Keywords: mangrove, phytoremidiation, heavy metals, coastal
Kondisi dan Keanekaragaman Karang Batu di Perairan Pulau Gangga Sulawesi Utara (Condition and Biodiversity of Hard Coral at Gangga Island, North Sulawesi Gangga Island) Jemmy Souhoka
ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences Vol 18, No 4 (2013): Ilmu Kelautan
Publisher : Marine Science Department Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (301.377 KB) | DOI: 10.14710/ik.ijms.18.4.213-224

Abstract

Pulau Gangga terletak pada koordinat 1º46'19"N - 125º03'11" E dan merupakan salah satu pulau yang termasuk dalam perairan Kabupaten Minahasa Utara Propinsi Sulawesi Utara. Perairan pantai pulau ini didominasi oleh ekosistem terumbu karang. Perkembangan aktivitas kegiatan manusia di perairan ekosistem terumbu karang akan mempengaruhi kondisi dan keanekaragaman jenis karang batu. Tujuan penelitian ini dilakukan yaitu untuk melihat kondisi dan kenaekaragaman jenis karang batu di kawasan perairan Pulau Gangga. Penelitian tentang kondisi dan keanekaragaman jenis karang batu di perairan kawasan Pulau Gangga Sulawesi Utara telah dilakukan pada bulan Mei 2011 pada 5 (lima) stasiun penelitian yaitu Stasiun 1(Pulau Lihaga), Stasiun 2 (Gangga 1), Stasiun 3 (Pulau Tindila), Stasiun 4 (Pantai Panjang) dan Stasiun 5 (Gangga 2). Metode penelitian yang digunakan adalah transek garis (Line Intercept Transect).  Hasil penelitian ditemukan 106 jenis karang batu dari 16 famili. Kondisi karang batu berdasarkan persentase tutupan berkisar antara 24,24–73,30% dan termasuk kategori sedang sampai baik. Stasiun 1 memiliki nilai keanekaragaman jenis (H) tertinggi sebesar 1,17 dan indeks kemerataan (E) tertinggi 0,91 ditemukan di Stasiun 3. Secara umum perairan Pulau Gangga didominasi oleh karang batu sepanjang 10958 cm (kedalaman 3m) atau 43,83% dan 12.116 cm (kedalaman 6m) atau 48,46%  dari total panjang transek (25.000 cm) dengan jenis yang dominan yaitu Acropora sp. (2344 cm) atau 9,38% di kedalaman 3m dan Porites nigrecens (3751 cm) atau 15,00% pada kedalaman 6 m. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar dalam pengambilan kebijakan pengelolaan wilayah ekosistem terumbu karang oleh pemerintah daerah Sulawesi Utara. Kata kunci: kondisi, karang keras, keanekaragaman, Pulau Gangga  North Minahasa District, North Sulawesi Province) is located at 1º 46'19"N - 125º 03' 11" E. Coral reef ecosystem dominated of its coastal areas. Increasing human activities in the area was thought to influence the condition of coral reef and its diversity. This study aims to observe the condition and biodiversity of hard coral in the Gangga Island waters. This study was conducted in May 2011 at 5 (five) stations, i.e. Station 1 (Lihaga Island), Station 2 (Gangga 1), Station 3 (Tindila Island), Station 4 (Panjang Beach) and Station 5 (Gangga 2). The Line Intercept Transect (LIT) method was applied in this study. There were 106 species of hard corals consisting of 16 families found in location. The condition of hard corals was classified into middle to good, and the persentage of coverage was in between 24.24 - 73.30 %. Corals at station 1 were in the good location and they have the highest diversity index (1.17), while the highest evenness index was at Station 3 (0.91). Generally, at Gangga Island, the domination of hard coral was 10.958 cm or 43,83  % (depth 3m) and 12.116 cm or 48,46 % (depth 6m) of the total transect (25,000 cm) with coral species of Acropora sp (2.344 cm) or 9,38 % at depth of 3m and Porites nigrecens (3.751 cm) or 15 % was dominant at depth of  6m. Result of this study can be used in management coral reef ecosystem policy of the goverment of North Sulawesi. Keywords: condition, hard coral, diversity, Gangga Island

Page 1 of 1 | Total Record : 7


Filter by Year

2013 2013


Filter By Issues
All Issue Vol 28, No 3 (2023): Ilmu Kelautan Vol 28, No 2 (2023): Ilmu Kelautan Vol 28, No 1 (2023): Ilmu Kelautan Vol 27, No 4 (2022): Ilmu Kelautan Vol 27, No 3 (2022): Ilmu Kelautan Vol 27, No 2 (2022): Ilmu Kelautan Vol 27, No 1 (2022): Ilmu Kelautan Vol 26, No 4 (2021): Ilmu Kelautan Vol 26, No 3 (2021): Ilmu Kelautan Vol 26, No 2 (2021): Ilmu Kelautan Vol 26, No 1 (2021): Ilmu Kelautan Vol 25, No 4 (2020): Ilmu Kelautan Vol 25, No 3 (2020): Ilmu Kelautan Vol 25, No 2 (2020): Ilmu Kelautan Vol 25, No 1 (2020): Ilmu Kelautan Vol 24, No 4 (2019): Ilmu Kelautan Vol 24, No 3 (2019): Ilmu Kelautan Vol 24, No 2 (2019): Ilmu Kelautan Vol 24, No 1 (2019): Ilmu Kelautan Vol 23, No 4 (2018): Ilmu Kelautan Vol 23, No 3 (2018): Ilmu Kelautan Vol 23, No 2 (2018): Ilmu Kelautan Vol 23, No 1 (2018): Ilmu Kelautan Vol 22, No 4 (2017): Ilmu Kelautan Vol 22, No 3 (2017): Ilmu Kelautan Vol 22, No 2 (2017): Ilmu Kelautan Vol 22, No 1 (2017): Ilmu Kelautan Vol 21, No 4 (2016): Ilmu Kelautan Vol 21, No 3 (2016): Ilmu Kelautan Vol 21, No 2 (2016): Ilmu Kelautan Vol 21, No 1 (2016): Ilmu Kelautan Vol 20, No 4 (2015): Ilmu Kelautan Vol 20, No 3 (2015): Ilmu Kelautan Vol 20, No 2 (2015): Ilmu Kelautan Vol 20, No 1 (2015): Ilmu Kelautan Vol 19, No 4 (2014): Ilmu Kelautan Vol 19, No 3 (2014): Ilmu Kelautan Vol 19, No 2 (2014): Ilmu Kelautan Vol 19, No 1 (2014): Ilmu Kelautan Vol 18, No 4 (2013): Ilmu Kelautan Vol 18, No 3 (2013): Ilmu Kelautan Vol 18, No 2 (2013): Ilmu Kelautan Vol 18, No 1 (2013): Ilmu Kelautan Vol 17, No 4 (2012): Ilmu Kelautan Vol 17, No 3 (2012): Ilmu Kelautan Vol 17, No 2 (2012): Ilmu Kelautan Vol 17, No 1 (2012): Ilmu Kelautan Vol 16, No 4 (2011): Ilmu Kelautan Vol 16, No 3 (2011): Ilmu Kelautan Vol 16, No 2 (2011): Ilmu Kelautan Vol 16, No 1 (2011): Ilmu Kelautan Vol 15, No 4 (2010): Ilmu Kelautan Vol 15, No 3 (2010): Ilmu Kelautan Vol 15, No 2 (2010): Ilmu Kelautan Vol 15, No 1 (2010): Ilmu Kelautan Vol 14, No 4 (2009): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 14, No 3 (2009): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 14, No 2 (2009): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 14, No 1 (2009): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 13, No 4 (2008): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 13, No 3 (2008): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 13, No 2 (2008): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 13, No 1 (2008): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 12, No 4 (2007): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 12, No 3 (2007): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 12, No 2 (2007): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 12, No 1 (2007): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 11, No 4 (2006): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 11, No 3 (2006): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 11, No 2 (2006): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 11, No 1 (2006): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 10, No 4 (2005): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 10, No 3 (2005): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 10, No 2 (2005): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 10, No 1 (2005): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 9, No 4 (2004): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 9, No 3 (2004): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 9, No 2 (2004): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 9, No 1 (2004): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 7, No 3 (2002): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 7, No 2 (2002): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 7, No 1 (2002): Jurnal Ilmu Kelautan Vol 6, No 4 (2001): Jurnal Ilmu Kelautan More Issue